Pages

Jumat, 15 Juli 2016

PERDEBATAN YANG TAK PERNAH USAI : PUTUSAN ULTRA PETITA DALAM UPAYA PENUNTUTAN KEADILAN





Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita adalah putusan yang masih menimbulkan perdebatan hingga saat ini. Adapun Mahkamah Konstitusi sendiri merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[1] Pada dasarnya lahirnya konsep lembaga Mahkamah Konstitusi sendiri berasal dari putusan yang bersifat ultra petita. Tentunya adalah Marbury vs Madison sebagai dalang utama dari adanya konsep Judicial Review pada tahun 1803 di Amerika Serikat. Dimana hal ini bermula ketika ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat John Marshal memberikan putusan  diluar dari apa yang dimohonkan oleh Permohon yaitu Hakim Marbury. Dalam peristiwa tersebut Hakim Marbury hanya meminta penempatannya sebagai hakim yang diatur dalam Keputusan Presiden untuk ditelaah kembali, akan tetapi Hakim Marshal sebagai Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat justru melakukan uji materiil terhadap Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman di Amerika Serikat, dan menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat, padahal Marbury hanya meminta pembatalan Keputusan Presiden. Hal ini pulalah yang menjadi cikal bakal dan membuka cakrawala dunia akan pentingnya suatu peradilan konstitusi di dalam suatu negara hukum.[2]

Kembali ke permasalahan mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita. Putusan yang bersifat ultra petita memang menjadi sebuah perdebatan yang tidak ada habisnya, banyak pihak yang pro terhadap ultra petita dengan pertimbangan bahwa hal ini adalah sebuah jalan menuju keadilan yang bersifat substantif, sedangkan sebagian pihak lainnya memilih untuk mengambil sikap yang kontra terhadap putusan yang bersifat ultra petita karena dirasa bertentangan dengan asas kepastian hukum dan dianggap dapat menjadi suatu preseden yang buruk untuk membenarkan sebuah kesewenangan-wenangan dan penyimpangan yang dilakukan oleh suatu lembaga negara.[3]

Pada dasarnya ultra petita diartikan sebagai penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau mememutus melebihi dari pada yang diminta. Ketentuan mengenai ultra petita sendiri diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) Ketentuan HIR merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia. Ketentuan tersebut secara tegas menyatakan akan pelarangan mengenai pemberian putusan yang bersifat ultra petita, karena didalam hukum perdata sendiri terdapat asas yang menyatakan  bahwa dalam menjalankan tugasnya hakim bersifat pasif atau “tidak berbuat apa-apa” . Hakim hanya bertugas untuk menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur), oleh karena itu hakim tidak boleh memberikan hal – hal yang lebih dari yang diminta oleh para pihak. [4]

Menurut Yahya Harahap, hakim yang mengabulkan tuntutan melebihi posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui wewenang atau ultra vires, yakni bertindak melampaui wewenangnya. Apabila putusan mengandung ultra petita, maka putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest).[5]

Sebagian golongan beranggapan bahwa keberadaan putusan yang bersifat ultra petita di Mahkamah Konstitusi tidak sesuai dengan sistem hukum yang dimiliki oleh Indonesia yakni sistem hukum civil law, dimana sistem hukum ini menitik beratkan pada hukum tertulis, sistem hukum ini bertolak belakang dengan sistem hukum common law yang menitik beratkan pada hukum kebiasaan yakni berdasar pada prinsip judge made law, sehingga sistem hukum ini dapat bersifat lebih dinamis mengikuti perkembangan zaman sesuai kebutuhan keadilan masyarakat. Adapun keberadaan putusan hakim yang bersifat ultra petita tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpstian dalam sistem hukum yang telah Indonesia anut selama ini.[6]

Ditambah lagi pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak memiliki wewenang untuk membentuk norma baru yang dapat menggantikan norma lama, karena kewenangan tersebut telah dimiliki oleh lembaga legislatif yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama lembaga eksekutif yakni Presiden selaku pembuat Undang – Undang. Hal ini terlihat dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, dimana kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya meliputi empat hal yakni,

1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewengannya diberikan oleh Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945
3) Memutus pembubaran partai politik
4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.[7]

Akan tetapi Bapak Jimly dalam kelas Lembaga Negara Indonesia di Fakultas Hukum Universitas Indonesia justru memiliki pendapat lain, beliau mengibaratkan ultra petita seperti memilih sebuah jalan di tiga persimpangan, dimana ada tiga pilihan yaitu memilih ke kanan, ke kiri, atau ke tengah. Ketika saya memilih jalan ke tengah, secara tidak langsung kita menolak untuk ke kanan dan ke kiri, meskipun pada akhirnya saya tidak memiliki niat untuk tidak memilih ke kanan dan ke kiri, tetapi hanya berniat untuk memilih jalur untuk ke tengah. Begitupun sebaliknya, ketika kita memilih ke kanan, pada akhirnya kita harus meniadakan jalan untuk ke tengah dan ke kiri, karena hal tersebut konsekuensi logis atas sebuah pilihan dan tidak bisa dinafikan begitu saja.[8]

Oleh karena itu banyak para wakil rakyat yang tidak menghendaki adanya ultra petita pada Mahkamah Konstitusi. Untuk merealisasikan kehendaknya maka direvisi-lah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Isi dari perubahan tersebut adalah melarang Mahkamah Konstitusi untuk melakukan putusan yang bersifat ultra petita sebagaimana yang kerap kali dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Perubahan itu dituangkan dalam Pasal 45 A yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh Pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permonan, dan hal tersebut dipertegas dengan adanya Pasal 57 ayat (2) bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat :

a. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
b. perintah kepada pembuat undang-undang
c. rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Tidak lama berselang nyatanya Pasal 45 A dan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011  tersebut di batalkan sendiri oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan 48/PUU-IX/2011.[9]
Adapun dalam permasalahan ini saya memutuskan untuk mendukung akan adanya putusan ultra petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Terdapat beberapa alasan yang mendasari sikap yang saya pilih ini, diantaranya adalah

1.      Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga peradilan yang tentunya berperan dalam menegakkan keadilan demi masyarakat. Adapun keadilan sendiri bersifat subjektif dan diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil, sementara adil sendiri memiliki pengertian tidak berat sebelah atau memberikan sesuatu sesuai dengan bagiannya. Adapun dalam berbagai kesempatan Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa lembaga peradilan ini akan menegakkan keadilan yang bersifat subtanstif tidak hanya keadilan prosedural semata. Dalam arti, sebagai pengawal dan penafsir konstitusi, Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak terpaku pada undang-undang yang dinilai keluar dari tujuan hukum sendiri. Sebaliknya apabila  kepentingan umum menghendaki hakim tidak boleh terpaku pada permohonan atau petitum yang diajukan. [10]

2.      Terdapatnya larangan ultra petita menunjukkan terdapatnya keraguan terhadap kompetensi dan kredibilitas dari seorang Hakim, padahal seorang Hakim Konstitusi tentunya dipilih setelah berhasil memenuhi persyaratan – persyaratan tertentu yang mencakup aspek akademik, psikologis, loyalitas, dan lain sebagainya hingga pada akhirnya mampu mengemban tanggung jawab sebagai seorang Hakim Konstitusi. Seorang Hakim Konstitusi tentunya juga dipercaya oleh pengusungnya seperti Presiden/ Dewan Perwakilan Rakyat/ Mahkamah Agung. Oleh karena itu kompetensi dan kredibilitas seorang Hakim Konstitusi dalam melakukan penafsiran tentunya telah teruji.

3.      Konsep larangan ultra petita di Hukum Perdata dirasa tidak “apple to apple” dengan Mahkamah Konstitusi. Adanya putusan ultra petita dalam  peradilan  perdata  pada  dasarnya  bertujuan  untuk melindungi  para  pihak  yang  dikalahkan  di dalam  proses  peradilan karena  apabila  hakim  memutuskan  melebihi/  melampaui  apa  yang  dimohonkan  oleh penggugat  atau  tergugat  (apabila  tergugat  dimenangkan),  maka  akan  terjadi suatu  ketidakadilan  dan  suatu  kepastian.  Apabila  hal  tersebut  diterapkan maka  peradilan  perdata,  maka  ada  kesan  bahwa  hakim  berpihak  kepada salah  satu  pihak.  Hal ini  tentunya berbeda  dengan  pengujian  konstitusional  yang  dilakukan oleh  Mahkamah Konstitusi.  Pada  dasarnya  pengujian  konstitusional  bertujuan  untuk  mereduksi adanya  kerugian  hak  konstitusional  yang  akan  terjadi  dikemudian  hari  pasca terjadinya kerugian hak konstitusional  terhadap pemohon  dan/atau mencegah terjadinya  kerugian  hak  konstitusional  dikemudian  hari  tanpa  ada  kerugian konstitusional  yang  menyeluruh  yang  dilekatkan  kepada  pemohon.  Sedangkan, tujuan  hukum  acara  perdata  adalah  memutuskan  sengketa  dengan  didasari dengan  petitum  yang  disampaikan  penggugat.[11]



[1] http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=3
[2] http://mahkamahmahasiswa.ui.ac.id/suatu-perdebatan-klasik-ultra-petita-dalam-jagat-keadilan-dan-kepastian-hukum/
[3] http://mahkamahmahasiswa.ui.ac.id/suatu-perdebatan-klasik-ultra-petita-dalam-jagat-keadilan-dan-kepastian-hukum/
[4] Jurnal Konstitusi, Volume 9 Nomor 1, hal 45,  Maret 2012
[5] Fadel, 2012, “TINJAUAN YURIDIS PRINSIP ULTRA PETITA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN KEADILAN SUBSTANTIF DI INDONESIA”, hal.25, Makassar : Universitas Hasanudin
[6] http://mahkamahmahasiswa.ui.ac.id/suatu-perdebatan-klasik-ultra-petita-dalam-jagat-keadilan-dan-kepastian-hukum/
[7] Fadel, 2012, “TINJAUAN YURIDIS PRINSIP ULTRA PETITA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN KEADILAN SUBSTANTIF DI INDONESIA”, hal.10. Makassar : Universitas Hasanudin
[8] http://mahkamahmahasiswa.ui.ac.id/suatu-perdebatan-klasik-ultra-petita-dalam-jagat-keadilan-dan-kepastian-hukum/
[9] http://mahkamahmahasiswa.ui.ac.id/suatu-perdebatan-klasik-ultra-petita-dalam-jagat-keadilan-dan-kepastian-hukum/
[10] Fadel, 2012, “TINJAUAN YURIDIS PRINSIP ULTRA PETITA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN KEADILAN SUBSTANTIF DI INDONESIA”, hal.34. Makassar : Universitas Hasanudin
[11] http://mahkamahmahasiswa.ui.ac.id/suatu-perdebatan-klasik-ultra-petita-dalam-jagat-keadilan-dan-kepastian-hukum/

0 komentar:

Posting Komentar