Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat
ultra petita adalah putusan yang masih menimbulkan perdebatan hingga saat ini.
Adapun Mahkamah Konstitusi sendiri merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pada dasarnya lahirnya konsep lembaga Mahkamah Konstitusi sendiri berasal dari
putusan yang bersifat ultra petita. Tentunya adalah Marbury vs Madison sebagai
dalang utama dari adanya konsep Judicial Review pada tahun 1803 di Amerika
Serikat. Dimana hal ini bermula ketika ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat
John Marshal memberikan putusan diluar
dari apa yang dimohonkan oleh Permohon yaitu Hakim Marbury. Dalam peristiwa tersebut
Hakim Marbury hanya meminta penempatannya sebagai hakim yang diatur dalam
Keputusan Presiden untuk ditelaah kembali, akan tetapi Hakim Marshal sebagai
Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat justru melakukan uji materiil terhadap
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman di Amerika Serikat, dan menyatakan bahwa
Undang-Undang tersebut bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat, padahal
Marbury hanya meminta pembatalan Keputusan Presiden. Hal ini pulalah yang
menjadi cikal bakal dan membuka cakrawala dunia akan pentingnya suatu peradilan
konstitusi di dalam suatu negara hukum.
Kembali ke permasalahan mengenai putusan
Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita. Putusan yang bersifat ultra
petita memang menjadi sebuah perdebatan yang tidak ada habisnya, banyak pihak
yang pro terhadap ultra petita dengan pertimbangan bahwa hal ini adalah sebuah jalan
menuju keadilan yang bersifat substantif, sedangkan sebagian pihak lainnya
memilih untuk mengambil sikap yang kontra terhadap putusan yang bersifat ultra
petita karena dirasa bertentangan dengan asas kepastian hukum dan dianggap
dapat menjadi suatu preseden yang buruk untuk membenarkan sebuah
kesewenangan-wenangan dan penyimpangan yang dilakukan oleh suatu lembaga
negara.
Pada dasarnya ultra petita diartikan sebagai
penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau mememutus
melebihi dari pada yang diminta. Ketentuan mengenai ultra petita sendiri diatur
dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta
padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim
memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) Ketentuan HIR merupakan hukum
acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia. Ketentuan tersebut
secara tegas menyatakan akan pelarangan mengenai pemberian putusan yang
bersifat ultra petita, karena didalam hukum perdata sendiri terdapat asas yang
menyatakan bahwa dalam menjalankan
tugasnya hakim bersifat pasif atau “tidak berbuat apa-apa” . Hakim hanya
bertugas untuk menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum
yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur),
oleh karena itu hakim tidak boleh memberikan hal – hal yang lebih dari yang
diminta oleh para pihak.
Menurut Yahya Harahap, hakim yang mengabulkan
tuntutan melebihi posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui
wewenang atau ultra vires, yakni bertindak melampaui wewenangnya. Apabila
putusan mengandung ultra petita, maka putusan tersebut harus dinyatakan cacat
meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai
dengan kepentingan umum (public interest).
Sebagian golongan beranggapan bahwa
keberadaan putusan yang bersifat ultra petita di Mahkamah Konstitusi tidak
sesuai dengan sistem hukum yang dimiliki oleh Indonesia yakni sistem hukum
civil law, dimana sistem hukum ini menitik beratkan pada hukum tertulis, sistem
hukum ini bertolak belakang dengan sistem hukum common law yang menitik
beratkan pada hukum kebiasaan yakni berdasar pada prinsip judge made law,
sehingga sistem hukum ini dapat bersifat lebih dinamis mengikuti perkembangan
zaman sesuai kebutuhan keadilan masyarakat. Adapun keberadaan putusan hakim
yang bersifat ultra petita tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan
ketidakpstian dalam sistem hukum yang telah Indonesia anut selama ini.
Ditambah lagi pada dasarnya Mahkamah
Konstitusi tidak memiliki wewenang untuk membentuk norma baru yang dapat
menggantikan norma lama, karena kewenangan tersebut telah dimiliki oleh lembaga
legislatif yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama lembaga eksekutif yakni
Presiden selaku pembuat Undang – Undang. Hal ini terlihat dalam Pasal 24C Ayat
(1) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, dimana kewenangan Mahkamah
Konstitusi hanya meliputi empat hal yakni,
1) Menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewengannya diberikan oleh Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945
3) Memutus pembubaran partai politik
4) Memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.
Akan tetapi Bapak Jimly dalam kelas Lembaga
Negara Indonesia di Fakultas Hukum Universitas Indonesia justru memiliki
pendapat lain, beliau mengibaratkan ultra petita seperti memilih sebuah jalan
di tiga persimpangan, dimana ada tiga pilihan yaitu memilih ke kanan, ke kiri,
atau ke tengah. Ketika saya memilih jalan ke tengah, secara tidak langsung kita
menolak untuk ke kanan dan ke kiri, meskipun pada akhirnya saya tidak memiliki
niat untuk tidak memilih ke kanan dan ke kiri, tetapi hanya berniat untuk memilih
jalur untuk ke tengah. Begitupun sebaliknya, ketika kita memilih ke kanan, pada
akhirnya kita harus meniadakan jalan untuk ke tengah dan ke kiri, karena hal
tersebut konsekuensi logis atas sebuah pilihan dan tidak bisa dinafikan begitu
saja.
Oleh karena itu banyak para wakil rakyat yang
tidak menghendaki adanya ultra petita pada Mahkamah Konstitusi. Untuk
merealisasikan kehendaknya maka direvisi-lah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Isi dari
perubahan tersebut adalah melarang Mahkamah Konstitusi untuk melakukan putusan
yang bersifat ultra petita sebagaimana yang kerap kali dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi. Perubahan itu dituangkan dalam Pasal 45 A yang menyatakan bahwa
Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta
oleh Pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu
yang terkait dengan pokok permonan, dan hal tersebut dipertegas dengan adanya
Pasal 57 ayat (2) bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat :
a. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2)
b. perintah kepada pembuat undang-undang
c. rumusan norma sebagai pengganti norma dari
undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Tidak lama berselang nyatanya Pasal 45 A dan
Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tersebut di batalkan sendiri oleh Mahkamah
Konstitusi dengan putusan 48/PUU-IX/2011.
Adapun dalam permasalahan ini saya memutuskan
untuk mendukung akan adanya putusan ultra petita yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi. Terdapat beberapa alasan yang mendasari sikap yang saya pilih ini,
diantaranya adalah
1.
Mahkamah
Konstitusi adalah sebuah lembaga peradilan yang tentunya berperan dalam
menegakkan keadilan demi masyarakat. Adapun keadilan sendiri bersifat subjektif
dan diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil, sementara adil
sendiri memiliki pengertian tidak berat sebelah atau memberikan sesuatu sesuai
dengan bagiannya. Adapun dalam berbagai kesempatan Mahkamah Konstitusi telah
menegaskan bahwa lembaga peradilan ini akan menegakkan keadilan yang bersifat
subtanstif tidak hanya keadilan prosedural semata. Dalam arti, sebagai pengawal
dan penafsir konstitusi, Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak terpaku pada
undang-undang yang dinilai keluar dari tujuan hukum sendiri. Sebaliknya apabila
kepentingan umum menghendaki hakim tidak
boleh terpaku pada permohonan atau petitum yang diajukan.
2.
Terdapatnya
larangan ultra petita menunjukkan terdapatnya keraguan terhadap kompetensi dan
kredibilitas dari seorang Hakim, padahal seorang Hakim Konstitusi tentunya
dipilih setelah berhasil memenuhi persyaratan – persyaratan tertentu yang
mencakup aspek akademik, psikologis, loyalitas, dan lain sebagainya hingga pada
akhirnya mampu mengemban tanggung jawab sebagai seorang Hakim Konstitusi.
Seorang Hakim Konstitusi tentunya juga dipercaya oleh pengusungnya seperti
Presiden/ Dewan Perwakilan Rakyat/ Mahkamah Agung. Oleh karena itu kompetensi
dan kredibilitas seorang Hakim Konstitusi dalam melakukan penafsiran tentunya
telah teruji.
3.
Konsep
larangan ultra petita di Hukum Perdata dirasa tidak “apple to apple” dengan
Mahkamah Konstitusi. Adanya putusan ultra petita dalam peradilan
perdata pada dasarnya
bertujuan untuk melindungi para
pihak yang dikalahkan
di dalam proses peradilan karena apabila
hakim memutuskan melebihi/
melampaui apa yang
dimohonkan oleh penggugat atau
tergugat (apabila tergugat
dimenangkan), maka akan
terjadi suatu ketidakadilan dan
suatu kepastian. Apabila
hal tersebut diterapkan maka peradilan
perdata, maka ada
kesan bahwa hakim
berpihak kepada salah satu
pihak. Hal ini tentunya berbeda dengan
pengujian konstitusional yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Pada
dasarnya pengujian konstitusional bertujuan
untuk mereduksi adanya kerugian
hak konstitusional yang
akan terjadi dikemudian
hari pasca terjadinya kerugian
hak konstitusional terhadap pemohon dan/atau mencegah terjadinya kerugian
hak konstitusional dikemudian
hari tanpa ada
kerugian konstitusional yang menyeluruh
yang dilekatkan kepada
pemohon. Sedangkan, tujuan hukum
acara perdata adalah
memutuskan sengketa dengan
didasari dengan petitum yang
disampaikan penggugat.